Ini
adalah sebuah cerita,
ketika
pepohonan terlihat lebih rindang dan hijau,
ketika
udara pagi jauh lebih menyegarkan,
ketika
malam hari begitu dingin menusuk kulit,
ketika
cahaya mentari terasa begitu hangat,
ketika
mendapati senyum ramah dari mereka,
ketika
hidup penuh kesederhanaan menjadi santapan sehari-hari..
Kampung Mama dan Papa memang
berbeda Propinsi. Mama di Cepu, Jawa Tengah, sedangkan Papa di Bojonegoro, Jawa
Timur. Akan tetapi, Cepu berada di Jawa Tengah akhir, dan Bojonegoro terletak
di Jawa Timur awal. Alhamdulillah, hal ini membuat kami dapat berkunjung ke
kedua kampung tersebut dengan menempuh jarak yang tidak terlalu jauh.
Di Hari Idul Fitri, selesai
Sholat Id, sungkeman, serta
berkunjung ke rumah-rumah saudara di desa mama, kami bergegas menuju kampung
papa di Bojonegoro. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu
tempuh sekitar 60 menit dengan bus ditambah naik ojek sekitar 30 menit, tapi perjalanan
ini cukup membuat kami lelah. Sebab kampung papa terletak di pedalaman hutan
yang cukup jauh. Medan yang kami lalui juga tidak biasa. Jalan bergelombang,
berkelok, naik, turun, wajib kami lewati untuk mencapai desa tersebut.
Dahulu, kampung papa ini
dikelilingi pohon jati yang besar-besar. Akan tetapi, saat ini tak lagi seperti
dulu, sebab pohon jati yang kami lihat sekarang berusia muda dengan diameter rata-rata
batang tak lebih dari 10 cm. Entah siapa yang membabat habis hutan jati itu. Ya
meskipun begitu kami patut bersyukur karena masih terdapat pepohonan meski tak
serindang dulu. Kampung papa belum termasuk desa yang maju, sebab listrik belum
dimiliki secara mandiri oleh desa ini. Listrik untuk memenuhi kebutuhan desa
ini berasal dari desa sebelah, alias masih
nyalur. Akibatnya, penggunaan listrik masih sangat terbatas, sekedar
mencukupi untuk menghidupi beberapa lampu saat malam tiba atau sekedar menyetel
televisi 14 inch di siang hari –jangan harap dapat menyetel televisi di malam
hari karena listrik digunakan untuk menyalakan lampu- kulkas, rice cooker, dan
alat-alat elektronik lainnya mereka tak punya sebab listriknya pun tidak akan
cukup untuk membuatnya berfungsi. Ah, mungkin kesederhanaan ini yang membuat
mereka begitu ramah dan sangat peduli satu sama lain..
Sekitar pukul empat sore kami
tiba di rumah ayahnya papa, atau biasa kami memanggil beliau Mbah Nang. Rumah sederhana
berlantaikan tanah, berdinding kayu ini adalah tempat Mbah Nang tinggal
menjalani hari-hari di masa tuanya. Satu hal yang menarik di rumah sederhana
ini adalah foto presiden dan wakil presiden yang tertempel di dinding kayu itu
masih Pak Soeharto dan Pak Tri Sutrisno. Apa masa itu sangat berkenang untukmu,
Mbah?
Orang-orang di desa mama memang
sangat ramah, tetapi warga di desa papa jauh lebih ramah. Baru saja kami sampai
tetangga-tetangga –yang juga merupakan saudaraku baik saudara jauh atau saudara
dekat- berdatangan untuk menyambut kami. Bersalaman hangat dan saling bertanya
kabar serta saling mengungkapkan rasa rindu. Seorang anak perempuan kelas 2 SMP
yang merupakan anak dari adik perempuan dari istri adik laki-laki papa (nah
lho!) telah menyambutku ketika kami baru sampai. Dia memang sangat senang jika
aku mudik ke kampung papa karena kami biasa ke masjid bersama, bermain bersama,
berkeliling kampung bersama.
Malam yang kami rasakan hari itu
begitu dingin. Sangat dingin. Bahkan aku membutuhkan dua kain selimut untuk
menghangatkan tubuh. Kami -aku, mama, papa, dan adik perempuan papa- tidur di
ruang depan, di atas kasur beralaskan terpal. Malam di desa papa memang sangat
dingin. Ah dinginnya membuatku untuk mencari kehangatan dengan memeluk mama
erat..
Pagi hari, kami merasakan nikmat
yang begitu besar. Dinginnya malam tadi terobati dengan hangatnya sinar
mentari, sejuknya udara pagi, dan pemandangan indah hamparan luas di belakang
rumah. Semburat sinar mentari yang menyusup di sela-sela pepohonan menambah elok
pemandangan pagi itu. Pagi yang begitu indah...
Oya! Ada satu hal yang ingin aku ceritakan. Hari
itu, aku dan saudara perempuanku pergi Sholat berjamaah ke Masjid yang letaknya
tak jauh dari rumah. Sebuah Masjid sederhana yang merupakan satu-satunya Masjid
di desa tersebut. Masjid itu berdindingkan dan berlantaikan kayu, sehingga
ketika para jama’ah melakukan sujud (dari i’tidal) akan terdenga bunyi duk gluduk duk duk –suara kaki-kaki yang
membentur kayu- irama yang tak kudengar ketika Sholat di Masjid baik di Tangerang
atau di Jogja. Satu hal lagi yang menarik, jama’ah yang datang untuk sholat
berjama’ah sebagian besar adalah Mbah-mbah
yang telah cukup sepuh dan anak-anak SD yang masih kecil. Bahkan ada seorang Mbah Doe
yang sudah tak terlau sehat tetap melaksanakan sholat jama’ah dengan duduk selonjor. Masya Allah.. Pertanyaannya, “Wah
anak mudanya kemana ya?”
Oya! Ada lagi. Antara Azan dan
Iqamat, biasanya anak-anak SD tadi mengisi dengan nyanyi-nyanyian atau
sholawatan. Satu lirik yang mereka nyanyikan, aku ingat lalu kucatat.. begini
liriknyaa..
Iman
baik amal baik suasana baik Allah ridho
Iman
rusak amal rusak suasana rusak Allah murka...
Iman
letaknya di dalam hati, hati dipengaruhi empat perkara
Iman
letaknya di dalam hati, hati dipengaruhi empat perkara...
Yang pertama pikiran, yang kedua penglihatan
Yang pertama pikiran, yang kedua penglihatan...
Yang ketiga dan keempat, pendengaran dan pembicaraan
Yang ketiga dan keempat, pendengaran dan pembicaraan...
Dengan logat
yang medok mereka menyanyikan
bergantian. Ah lucunya..
Sahabat, masih banyak sebenarnya yang ingin aku
ceritakan dan belum terungkapkan. Kata-kata memang dapat mewakili ungkapan hati
yang sulit dibicarakan, tetapi terkadang tak semua rasa di hati dapat
kutuliskan dengan kata-kata.
Liburan kali ini telah mengajarkanku akan banyak
hal. Sebab disinilah aku melihat matahari dengan lebih nyata, disinilah aku
merasakan kehidupan yang lebih nyata..
“Terima kasih Ya Allah,
lagi-lagi Kau ajarkan kami dengan cara-Mu untuk selalu bersyukur...”
“Maka Nikmat Rabbmu yang manakah yang kau dustakan”
-Suci Wulandari-