Jumat, 01 Agustus 2014

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part1

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part1

Ini adalah sebuah cerita,
ketika pepohonan terlihat lebih rindang dan hijau,
ketika udara pagi jauh lebih menyegarkan,
ketika malam hari begitu dingin menusuk kulit,
ketika cahaya mentari terasa begitu hangat,
ketika mendapati senyum ramah dari mereka,
ketika kesederhanaan menjadi santapan sehari-hari..

Cerita ini dimulai ketika aku beserta mama, papa, melakukan perjalanan ke kampung halaman. Ya, setiap tahun kami memang rutin untuk mudik ketika Idul Fitri tiba. Bersua dan bersilaturahmi dengan kakek, nenek, serta saudara lainnya. Di H-3 lebaran ini, kami menempuh perjalanan  yang cukup panjang. Dengan menaiki bus, kami tempuh perjalanan selama 28 jam.  Tentu terasa sangat melelahkan, apalagi saat itu kami masih menjalankan ibadah puasa. Semoga puasa di hari itu mendapat kebaikan dari-Nya yang berlipat ganda. Aamiin..
Pukul empat sore, kami sampai di terminal Cepu, Jawa Tengah. Lek dan sepupuku telah menunggu di terminal untuk menjemput kami menuju sebuah rumah sederhana di Desa Mernung. Sesampainya di rumah Lek, kami disambut hangat dengan adik-adik mama yang sudah berada disana. Mbah tak dapat menahan harunya melihat kedatangan kami sampai beliau pun menangis. Saat ini kondisi Mbah sudah tidak terlalu sehat sebab Beliau sudah tidak dapat berbicara lancar. Kata-kata yang keluar dari bibirnya tidak jelas, sulit dipahami. Keluarga mama cukup shock mendapati kondisi Mbah yang seperti ini, mengingat usia Mbah yang belum terlalu sepuh. Kondisinya mulai berubah ketika suatu kejadian menimpa salah satu adik perempuan mama beberapa bulan yang lalu. Suami dari adik terakhir mama ini meninggal secara mendadak ketika sedang tidur, tanpa sakit atau kecelakaan. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang masih kecil. Kejadian ini membuat Mbah terlalu shock sehingga kondisinya menjadi seperti sekarang ini. Semoga Allah lekas memberikan kesembuhan kepada Mbah. Aamiin..
Bertemu dengan saudara-saudara mama, paklek, bulek, pakde, dan sepupu-sepupu telah mengobati lelahnya perjalanan yang kami tempuh. Di rumah sederhana yang masih berlantaikan tanah ini, kami berkumpul melepas rindu, saling berbagi.
Hari kemenangan tiba, sebelum waktu shubuh kami sudah bergegas mandi dan bersiap melaksanakan Sholad Idul Fitri. Dinginnya air pagi itu begitu menyegarkan membuat semangat memulai hari. Pukul enam pagi kami beranjak menuju Masjid dengan berjalan kaki. Masya Allah, begitu banyak nikmat yang Allah limpahkan. Dia masih memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan sholat Idul Fitri tahun ini. Segala puji bagi-Mu Ya Allah, sungguh nikmat yang tak terkira..
Sepulang dari Masjid, keluarga kami segera melaksanakan sungkeman, saling meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat.

Mama, Papa, maafkan aku atas segala kesalahan yang telah aku perbuat, atas perkataan yang pernah menyakiti, atas perilaku tidak baik yang pernah aku lakukan. Restui dan ridhoi aku, Ma, Pa. Sungguh Allah Ridho, jika Mama Papa ridho...

“Ya Allah, Ampunilah kami atas perkataan yang menyakiti, perbuatan yang salah dan meninggalkan luka, yang kami perbuat kepada keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabat kami.. bukakanlah pintu hati mereka untuk ikhlas memaafkan kami.. Ya Allah berilah ampunan-Mu kepada kami..”

-Suci Wulandari-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Saya tidak tahu apakah ini adalah langkah terakhir saya."