Jumat, 15 Agustus 2014

Mastatho’tum

Mastathotum

Malam itu sebuah inspirasi mengalir dari seorang yang sangat inspiratif. Ya, Beliau menceritakan makna dibalik kata “Mastatho’tum”. Di dalam Al Quran “Mastatho’tum” memiliki arti “semampu kita”. Sesungguhnya seperti apa makna kata “semampu kita”?
Berusaha sampai titik puncak ikhtiar. Ya, itulah makna dari kata “semampu kita”. Mungkin kisah berikut ini akan lebih mengggambarkan makna dibalik kata tersebut.
Suatu hari seorang guru besar di Universitas Al Azhar Mesir bertanya kepada muridnya, “Tahukah kalian makna dari kata Mastatho’tum? Mari ikutilah aku dan aku akan tunjukkan kepada kalian makna sebenarnya dari kata tersebut.”
Kemudian Sang Guru berjalan menuju lapangan dan berlari mengelilingi lapangan itu. Semua muridnya pun mengikuti. Walaupun sebenarnya murid-muridnya itu tak mengerti apa tujuan dari berlari mengililingi lapangan ini. Hingga akhirnya satu persatu murid-murid menyerah karena telah lelah berlari sekian putaran, tapi tidak dengan Sang Guru. Dia terus berlari sampai batas maksimal. Sang Guru baru berhenti berlari ketika dirinya pingsan karena tubuh yang sangat lelah. Keadaaan yang cukup parah ini pun membuatnya harus dibawa ke rumah sakit. Murid-muridnya setia menunggui Sang Guru yang tergelatak di kamar Rumah Sakit. Ketika siuman, Sang Guru pun berkata kepada murid-muridnya,

“Apa kalian menyadarinya? Saat ini aku sedang menunjukkan kepada kalian arti dari kata Mastatho’tum.”

Mastatho’tum berati berusaha sampai titik puncak ikhtiar yang dapat kita lakukan. Semampu kita berarti berusaha sampai diri ini tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, tak tahu lagi harus berbuat apa. Sebab semua usaha telah dikerahkan, berbagai pengorbanan telah dilakukan. Saat bertawakkal menjadi kunci di titik puncak ikhtiar. Menunggu keputusan dari-Nya...

Inspirasi malam hari
Di Asrama tercinta

Jumat, 01 Agustus 2014

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part2

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part2


Ini adalah sebuah cerita,
ketika pepohonan terlihat lebih rindang dan hijau,
ketika udara pagi jauh lebih menyegarkan,
ketika malam hari begitu dingin menusuk kulit,
ketika cahaya mentari terasa begitu hangat,
ketika mendapati senyum ramah dari mereka,
ketika hidup penuh kesederhanaan menjadi santapan sehari-hari..

Kampung Mama dan Papa memang berbeda Propinsi. Mama di Cepu, Jawa Tengah, sedangkan Papa di Bojonegoro, Jawa Timur. Akan tetapi, Cepu berada di Jawa Tengah akhir, dan Bojonegoro terletak di Jawa Timur awal. Alhamdulillah, hal ini membuat kami dapat berkunjung ke kedua kampung tersebut dengan menempuh jarak yang tidak terlalu jauh.
Di Hari Idul Fitri, selesai Sholat Id, sungkeman, serta berkunjung ke rumah-rumah saudara di desa mama, kami bergegas menuju kampung papa di Bojonegoro. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu tempuh sekitar 60 menit dengan bus ditambah naik ojek sekitar 30 menit, tapi perjalanan ini cukup membuat kami lelah. Sebab kampung papa terletak di pedalaman hutan yang cukup jauh. Medan yang kami lalui juga tidak biasa. Jalan bergelombang, berkelok, naik, turun, wajib kami lewati untuk mencapai desa tersebut.
Dahulu, kampung papa ini dikelilingi pohon jati yang besar-besar. Akan tetapi, saat ini tak lagi seperti dulu, sebab pohon jati yang kami lihat sekarang berusia muda dengan diameter rata-rata batang tak lebih dari 10 cm. Entah siapa yang membabat habis hutan jati itu. Ya meskipun begitu kami patut bersyukur karena masih terdapat pepohonan meski tak serindang dulu. Kampung papa belum termasuk desa yang maju, sebab listrik belum dimiliki secara mandiri oleh desa ini. Listrik untuk memenuhi kebutuhan desa ini berasal dari desa sebelah, alias masih nyalur. Akibatnya, penggunaan listrik masih sangat terbatas, sekedar mencukupi untuk menghidupi beberapa lampu saat malam tiba atau sekedar menyetel televisi 14 inch di siang hari –jangan harap dapat menyetel televisi di malam hari karena listrik digunakan untuk menyalakan lampu- kulkas, rice cooker, dan alat-alat elektronik lainnya mereka tak punya sebab listriknya pun tidak akan cukup untuk membuatnya berfungsi. Ah, mungkin kesederhanaan ini yang membuat mereka begitu ramah dan sangat peduli satu sama lain..
Sekitar pukul empat sore kami tiba di rumah ayahnya papa, atau biasa kami memanggil beliau Mbah Nang. Rumah sederhana berlantaikan tanah, berdinding kayu ini adalah tempat Mbah Nang tinggal menjalani hari-hari di masa tuanya. Satu hal yang menarik di rumah sederhana ini adalah foto presiden dan wakil presiden yang tertempel di dinding kayu itu masih Pak Soeharto dan Pak Tri Sutrisno. Apa masa itu sangat berkenang untukmu, Mbah?
Orang-orang di desa mama memang sangat ramah, tetapi warga di desa papa jauh lebih ramah. Baru saja kami sampai tetangga-tetangga –yang juga merupakan saudaraku baik saudara jauh atau saudara dekat- berdatangan untuk menyambut kami. Bersalaman hangat dan saling bertanya kabar serta saling mengungkapkan rasa rindu. Seorang anak perempuan kelas 2 SMP yang merupakan anak dari adik perempuan dari istri adik laki-laki papa (nah lho!) telah menyambutku ketika kami baru sampai. Dia memang sangat senang jika aku mudik ke kampung papa karena kami biasa ke masjid bersama, bermain bersama, berkeliling kampung bersama.
Malam yang kami rasakan hari itu begitu dingin. Sangat dingin. Bahkan aku membutuhkan dua kain selimut untuk menghangatkan tubuh. Kami -aku, mama, papa, dan adik perempuan papa- tidur di ruang depan, di atas kasur beralaskan terpal. Malam di desa papa memang sangat dingin. Ah dinginnya membuatku untuk mencari kehangatan dengan memeluk mama erat..
Pagi hari, kami merasakan nikmat yang begitu besar. Dinginnya malam tadi terobati dengan hangatnya sinar mentari, sejuknya udara pagi, dan pemandangan indah hamparan luas di belakang rumah. Semburat sinar mentari yang menyusup di sela-sela pepohonan menambah elok pemandangan pagi itu. Pagi yang begitu indah...
 Oya! Ada satu hal yang ingin aku ceritakan. Hari itu, aku dan saudara perempuanku pergi Sholat berjamaah ke Masjid yang letaknya tak jauh dari rumah. Sebuah Masjid sederhana yang merupakan satu-satunya Masjid di desa tersebut. Masjid itu berdindingkan dan berlantaikan kayu, sehingga ketika para jama’ah melakukan sujud (dari i’tidal) akan terdenga bunyi duk gluduk duk duk –suara kaki-kaki yang membentur kayu- irama yang tak kudengar ketika Sholat di Masjid baik di Tangerang atau di Jogja. Satu hal lagi yang menarik, jama’ah yang datang untuk sholat berjama’ah sebagian besar adalah Mbah-mbah yang telah cukup sepuh dan anak-anak SD yang masih kecil. Bahkan ada seorang Mbah Doe yang sudah tak terlau sehat tetap melaksanakan sholat jama’ah dengan duduk selonjor. Masya Allah.. Pertanyaannya, “Wah anak mudanya kemana ya?”
Oya! Ada lagi. Antara Azan dan Iqamat, biasanya anak-anak SD tadi mengisi dengan nyanyi-nyanyian atau sholawatan. Satu lirik yang mereka nyanyikan, aku ingat lalu kucatat.. begini liriknyaa..
Iman baik amal baik suasana baik Allah ridho
Iman rusak amal rusak suasana rusak Allah murka...
Iman letaknya di dalam hati, hati dipengaruhi empat perkara
Iman letaknya di dalam hati, hati dipengaruhi empat perkara...

Yang pertama pikiran, yang kedua penglihatan
Yang pertama pikiran, yang kedua penglihatan...
Yang ketiga dan keempat, pendengaran dan pembicaraan
Yang ketiga dan keempat, pendengaran dan pembicaraan...

Dengan logat yang medok mereka menyanyikan bergantian. Ah lucunya..

Sahabat, masih banyak sebenarnya yang ingin aku ceritakan dan belum terungkapkan. Kata-kata memang dapat mewakili ungkapan hati yang sulit dibicarakan, tetapi terkadang tak semua rasa di hati dapat kutuliskan dengan kata-kata.
Liburan kali ini telah mengajarkanku akan banyak hal. Sebab disinilah aku melihat matahari dengan lebih nyata, disinilah aku merasakan kehidupan yang lebih nyata..

“Terima kasih Ya Allah, lagi-lagi Kau ajarkan kami dengan cara-Mu untuk selalu bersyukur...”
“Maka Nikmat Rabbmu yang manakah yang kau dustakan”


-Suci Wulandari-

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part1

Ketika Matahari Terlihat Lebih Nyata #part1

Ini adalah sebuah cerita,
ketika pepohonan terlihat lebih rindang dan hijau,
ketika udara pagi jauh lebih menyegarkan,
ketika malam hari begitu dingin menusuk kulit,
ketika cahaya mentari terasa begitu hangat,
ketika mendapati senyum ramah dari mereka,
ketika kesederhanaan menjadi santapan sehari-hari..

Cerita ini dimulai ketika aku beserta mama, papa, melakukan perjalanan ke kampung halaman. Ya, setiap tahun kami memang rutin untuk mudik ketika Idul Fitri tiba. Bersua dan bersilaturahmi dengan kakek, nenek, serta saudara lainnya. Di H-3 lebaran ini, kami menempuh perjalanan  yang cukup panjang. Dengan menaiki bus, kami tempuh perjalanan selama 28 jam.  Tentu terasa sangat melelahkan, apalagi saat itu kami masih menjalankan ibadah puasa. Semoga puasa di hari itu mendapat kebaikan dari-Nya yang berlipat ganda. Aamiin..
Pukul empat sore, kami sampai di terminal Cepu, Jawa Tengah. Lek dan sepupuku telah menunggu di terminal untuk menjemput kami menuju sebuah rumah sederhana di Desa Mernung. Sesampainya di rumah Lek, kami disambut hangat dengan adik-adik mama yang sudah berada disana. Mbah tak dapat menahan harunya melihat kedatangan kami sampai beliau pun menangis. Saat ini kondisi Mbah sudah tidak terlalu sehat sebab Beliau sudah tidak dapat berbicara lancar. Kata-kata yang keluar dari bibirnya tidak jelas, sulit dipahami. Keluarga mama cukup shock mendapati kondisi Mbah yang seperti ini, mengingat usia Mbah yang belum terlalu sepuh. Kondisinya mulai berubah ketika suatu kejadian menimpa salah satu adik perempuan mama beberapa bulan yang lalu. Suami dari adik terakhir mama ini meninggal secara mendadak ketika sedang tidur, tanpa sakit atau kecelakaan. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang masih kecil. Kejadian ini membuat Mbah terlalu shock sehingga kondisinya menjadi seperti sekarang ini. Semoga Allah lekas memberikan kesembuhan kepada Mbah. Aamiin..
Bertemu dengan saudara-saudara mama, paklek, bulek, pakde, dan sepupu-sepupu telah mengobati lelahnya perjalanan yang kami tempuh. Di rumah sederhana yang masih berlantaikan tanah ini, kami berkumpul melepas rindu, saling berbagi.
Hari kemenangan tiba, sebelum waktu shubuh kami sudah bergegas mandi dan bersiap melaksanakan Sholad Idul Fitri. Dinginnya air pagi itu begitu menyegarkan membuat semangat memulai hari. Pukul enam pagi kami beranjak menuju Masjid dengan berjalan kaki. Masya Allah, begitu banyak nikmat yang Allah limpahkan. Dia masih memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan sholat Idul Fitri tahun ini. Segala puji bagi-Mu Ya Allah, sungguh nikmat yang tak terkira..
Sepulang dari Masjid, keluarga kami segera melaksanakan sungkeman, saling meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat.

Mama, Papa, maafkan aku atas segala kesalahan yang telah aku perbuat, atas perkataan yang pernah menyakiti, atas perilaku tidak baik yang pernah aku lakukan. Restui dan ridhoi aku, Ma, Pa. Sungguh Allah Ridho, jika Mama Papa ridho...

“Ya Allah, Ampunilah kami atas perkataan yang menyakiti, perbuatan yang salah dan meninggalkan luka, yang kami perbuat kepada keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabat kami.. bukakanlah pintu hati mereka untuk ikhlas memaafkan kami.. Ya Allah berilah ampunan-Mu kepada kami..”

-Suci Wulandari-



"Saya tidak tahu apakah ini adalah langkah terakhir saya."